CERITA WAYANG BERJUDUL BURISRAWA GUGUR
A. Di Pesanggrahan Bulupitu
Prabu Salya, Adipati Karna, Harja Sengkuni, Pandita Durna, Kurawa lainnya serta para pasukan menghadap Prabu Duryudana.
Para penguasa merasa duka cita atas meninggalnya raden Sarodjakusuma. Prabu Duryudana berkata kepada Prabu Salya, bagaimana baiknya, para ksatria Ngastina sudah banyak yang kalah di peperangan. Sekarang siapa yang akan berdiri sebagai Senopati untuk memulihkan barisan Ngastina.
Prabu Salya menunjuk Prabu Partipa, dengan Narnurwinda sebagai pendampingnya.
Prabu Duryudana menyetujui, kemudian memberi perintah agar Prabu Partipa dan Naranurwinda dipanggil.
Prabu Partipa saha Naranurwinda kelihatan gembira karena menjadi Senopati dan Senopati Pendamping, kemudian mereka berpamitan untuk pergi ke Tegal Kurusetra. Prabu Duryudana memberikan pangestu, kemudian Partipa dan Naranurwinda pergi.
Senopati Prabu Partipa pergi menggunakan gajah Kyai Jakamaruta diikuti Senopati Pendamping Naranurwinda dan para Kurawa.
B. Di Pesanggrahan Glagahtinulu
Raden Harya Sencaki, Patih Udawa dan para pasukan menghadap kepada Dewi Wara Srikandi. Mereka turut berduka cita atas meninggalnya Raden Abimanyu. Dewi Wara Srikandi sangat berduka cita sampai berkeinginan untuk meleburkan Negara Ngastina. Demikian juga dengan Raden Harya Sencaki yang berkeinginan untuk segera bisa membalaskan atas kematian putra Raden Abimanyu.
Selama mereka membicarakan Raden Abimanyu, datanglah Emban Drawajaya yang memberikan informasi kalau pasukan Ngastina sudah sampai dan mengamuk. Pesanggrahan Glagahtinulu seiisinya sudah kebasmi.
Dewi Wara Srikandi, Raden Harya Sencaki, Patih Udawa bersama para pasukan segera pada pergi untuk mempersiapkan diri.
Setelah bertemunya dengan musuh maka terjadilah perang yang besar. Raden Harya Sencake kelihatan sangat marah ketika bertemu dengan prajurit Ngastina. Prajurit Ngastina keseser, kemudian pada mundur dari peperangan.
Dewi Wara Srikandi, Raden Harja Sencaki, dan Patih Udawa setelah membuat para musuh mundur dari peperangan, kemudian mereka pada pergi sowan ke Pesanggrahan Randuwatangan.
C. Di Pesanggrahan Randugumbala
Raden Janaka, Patih Gagakbongkol, dan para pasukan menghadap kepada Raden Harya Werkudara.
Selama mereka membicarakan kematian Raden Abimanyu, Raden Janaka sebentar-bentar melamun.
Tidak lama kemudian Podangbinarehan datang menghadap Raden Harya Werkudara dan memberi tahu kalau musuh suah datang, yaitu Senopati Pendamping, Raden Naranuwinda.
Raden Janaka mendengar perkataan Podangbinarehan, singkat waktu hilanglah lamunannya, kemudian pergi untuk mempersiapkan diri dengan diikuti oleh Raden Werkudara, Patih Gagakbongkol dan para pasukan.
Raden Janaka udah hadap-hadapan dengan Senapati Pendampig Naranurwinda. Setelah pada saling tanya, kemudian terjadilah perang. Naranurwinda semakin lama semakin keseser, lalu kalah dan mati oleh Raden Janaka. Para pasukan Senopati Pendamping pada mundur.
Raden Werkudara dan Raden Janaka kemudian pada pergi sowan ke pesanggrahan Randuwatangan.
D. Di Pesanggrahan Randuwatangan
Prabu Batara Kresna, Prabu Puntadewa, Raden Harya Werkudara, Raden Nakula, Raden Sadewa, Dewi Wara Srikandi, Raden Harya Sencaki, dan para pasukan menghadap kepada Prabu Matswapati.
Mereka pada merenungkan atas kematian Raden Angkawijaya yang mati dipotong-potoang oleh pasukan Ngastina. Semua kelihatan pada sedih dan merasa kehilangan karena Raden Abimanyu sangatlah disayangi oleh semua keluarga Pandawa.
Belum sampai selesainya membicarakan Raden Abimanyu, terputuslah pembicaraan karena Ki Lurah Kantongbolong yang datang dengan berlari dan tertatih-tatih, kemudian memberi tahu bahwa negara Ngastina sudah memiliki Senopati baru yaitu Prabu Partipa, yang juga sudah maju ke dalam peperangan dengan menunggangi gajag Kyai Jakamaruta, Raden Werkudara menyimak perkataan Ki Lurah Kantongolong, kalau Senopati Pendamping Ngastina Raden Naranurwinda, sudah dibunuh oleh Raden Janaka, Raden Janaka diam tidak bicara, kelihatan jelas kalau membicarakan bab lain, melamun (ngengleng) lagi.
Prabu Matswapati berkata kepada Sri Batara Kresna, siapa yang akan berani menghadapi musuh ?.
Sri Kresna mengusulkan Raden Werkudara. Untuk Raden Janaka dan keluarga Pandawa lainnya diminta untuk mendukungnya.
Raden Janaka pergi duluan. Sehingga bertemu dengan Prabu Partipa yang menunggangi gajah Kyai Jakamaruta. Prabu Partipa turun dari tunggangannya, kedua-duanya antara Raden Janaka dengan Prabu Partipa. Lalu saling tanya hingga saling “padudon” dan suasana menjadi perang. Karena kedua-duanya sama kuatnya, perangnya menjadi sangat rame dan sengit. Semakin lama Prabu Partipa kelihatan keseser, tetapi selanjutnya Prabu Partipa mengeluarkan kekuatannya, lalu Raden Janaka tergeletak terlempar sampai jauh.
Raden Werkudara waspada dan hati-hati, yang muda diterima dengan sabar, sehingga memberi perintah untuk berhenti dulu dalam berperang. Raden Werkudara menggantikan untuk maju melayani musuh.
Prabu Partipa sekarang ganti diadu dengan Raden Werkudara. Ramai dalam mengadu pusaka antara Prabu Partipa dengan Raden Werkudara. Prabu Partipa semakin lama semakin kelihatan kalau kalah kuat (santoso), hingga akhirnya bisa dipegang oleh Raden Werkudara, lalu dilemparkan jauh hingga jatuh. Keadaan Prabu Partipa sesungguhnya sudah susah, tetapi terbawa dari dirinya sebagai Senopati, malu kalau kalah dalam peperangan. Sehingga berniat untuk maju kembali.
Karena merasa biar kelihatan lebih kuat oleh musuhnya Raden Werkudara, lalu Prabu Partipa menunggangi gajah, biar bisa menandingi Prabu Harya Werkudara.
Setelah Prabu Partipa bangkit kembali dan maju untuk melawan Raden Werkudara, maka peperangan antara Prabu Partipa dengan Raden Werkudara kembali terjadi. Sekarang Raden Werkudara gantian yang keseser. Sehingga mengeluarkan pusaka, gada Lukitasari, Prabu Partipa terkena gada Lukitasari. Sehingga Prabu Partipa mati bersama gajahnya. Keadaan tersebut membuat senang para prajurit Pandawa. Dan para prajurit Ngastina bubar dengan terbirit-birit.
Harya Sengkuni melihat kalau Senopati Prabu Partipa gugur dalam peperangan melawan Raden Werkudara. Keadaan tersebut membuat Harya Sengkuni meninggalkan tempat peperangan dan mempunyai niat untuk bilang kepada Prabu Duryudana. Sebelum Harya Sengkuni pergi untuk menemui Prabu Duryudana, dia menghampiri Prabu Salya di Pakuwon Karangpandan.
E. Di Pesanggrahan Bulupitu
Prabu Salya, Adipati Karna, Harya Sengkuni, Harja Dursasana, Harya Burisrawa, dan para pasukan menghadap kepada Prabu Duryudana.
Setelah Prabu Duryudana mendengar perkataan Harya Sengkuni kalau Senopati Ngastina Prabu Partipa sudah dikalahkan dan mati oleh Raden Werkudara dan Senopati Pendamping juga sudah dikalahkan oleh Raden Janaka. Prabu Duryudana sangat sedih dalam benaknya. Sang Prabu Duryudana sampai lama tidak bicara sedikitpun. Di dalam benak Prabu Duryudana was-was karena para ksatria (andel) Ngastina semakin lama semakin menipis, terus bagaimana nanti kekuasaan Ngastina. Tetapi walaupun bagitu tidak kelihatan kalau sedang sedih, sehingga Prabu Duryudana berkata kepada Prabu Salya, “Paman Prabu ing Mandaraka, bagaimana paman nanti, siapa yang akan menjadi dan dipakai untuk kukuhnya pasukan Ngastina ?”.
Prabu Salya berkata kalau menjadi keinginan Prabu Duryudana, yang akan menjadi Senopati sekaang sebaiknya jangan sampai orang lain kecuali putra sendiri, yaitu Raden Burisrawa.
Sang Prabu Duryudana menjawab Prabu Salya, apa sudah ikhlas benar kalau Raden Burisrawa sebagai pengarep (menjadi Senopati) Ngastina, Prabu Salya bilang sudah rela. Raden Burisrawa kemudian dinobatkan sebagai Senopati Ngastina sedangkan yang menjadi Senopati Pendamping adalah Raden Windandini.
Kemudian Senopati dan Pendampingnya, yaitu Raden Burisrawa dan Raden Windandini segera pergi ke Tegal Kurusetra. Tidak lupa para pengikut Ngastina juga ikut.
F. Di Pesanggrahan Randuwatangan
Sri Batara Kresna, Prabu Puntadewa, Raden Harya Werkudara, Raden Janaka, Raden Nakula, Dewi Wara Srikandi, Raden Harya Sencaki dan para pasukan menghadap kepada Prabu Matswapati yang dihormati.
Prabu Matswapati menanyakan kepada Raden Harya Werkudara, bagaimana akhir dari peperangan melawan Ngastina, Prabu Harya Werkudara bilang kepada Raden Matswapati kalau Senopati Ngastina Raden Partipa sudah mati bersama dengan gajahnya Kyai Jakamaruta.
Tidak lama sampai mereka menyelesaikan pembicaraan, Patih Udakawana datang menghadap Prabu Matswapati. Setelah Patih Udakawana memberikan penghormatan (sembah) kepada Prabu Matswapati, Patih Udakawana memberi tahu kalau Negari Ngastina sudah membuat Senopati baru yang menggantikan Prabu Partipa, yaitu Raden Burisrawa dan Senopati Pendampingnya juga sudah diganti, yaitu Raden Windandini.
Prabu Matswapati kemudian membicarakan hal itu dengan Sri Batara Kresna. Tetapi sebelum Prabu Matswapati dan Sri Batara Kresna selesai membicarakan hal tersebut, Raden Harya Sencaki menyembah, menyela pembicaraaan, lalu meminta ijin agar bisa menjadi Senopati menandingi Raden Burisrawa, karena hal itu sudah menjadi janji (nadar) Raden Harya Sencaki. Raden Harya Sencaki juga bilang kalau nadarnya sudah disaksikan oleh mas Sri Batara Kresna.
Selanjutnya Prabu Matswapati bilang kepada Sri Batara Kresna, apa benar begitu nadar yang dibilang oleh Raden Sencaki, lalu Sri Batara Kresna bilang kalau memang benar yang diucapkan oleh adik Raden Sencaki.
Raden Harya Werkudara dalam batinnya tidak menyetujui kalau Raden Harya Sencaki akan menandingi Raden Burisrawa. Dan Raden Harya menanyakan kepada Sri Batara Kresna mengenai hal untuk menjadikan Raden Sencaki tandingan Raden Burisrawa karena dilihat dari struktur tubuhnya Raden Sencaki kalah besar dan juga pasti kekuatannya kalah dengan Raden Burisrawa.. Tetapi Sri Batara Kresna tetap akan menjadikan Raden Sencaki tandingannya Raden Burisrawa karena hal itu sudah merupakan janji (nadar) dari Raden Sencaki untuk menjadi tandingan dari Raden Burisrawa dalam laga peperangan dan nadar itu disaksikan oleh Sri Batara Kresna sendiri. Dan Sri Batara Kresna meminta Raden Harya Werkudara untuk menyetujui hal itu. Mendengar perkataan Sri Batara Kresna, Raden Harya Werkudara hanya akan menyetujui kalau Raden Sencaki menandingi Raden Burisrawa dengan meminta syarat karena belum merasa puas dengan Raden Sencaki. Syarat yang diinginkan adalah Raden Sencaki menangkap gada yang dimiliki Raden Harya Werkudara. Apabila Raden Sencaki bisa menangkapnya, maka Raden Harya Werkudara akan menyetujuinya. Tetapi kalau tidak, maka Raden Harya Werkudara tidak akan menyetujuinya.
Mendengar permintaan Raden Harya Werkudara tersebut, maka Sri Batara Kresna menanyakan kesanggupan Raden Sencaki. Dan Raden Sencakipun setuju dengan permintaan Raden Harya Werkudara.
Kemudian Raden Harya Werkudara dan Raden Sencaki mencari tempat yang luas untuk menguji kekuatan Raden Sencaki. Setelah menemukan tempat yang sesuai, maka Raden Harya Werkudara mengeluarkan gada Lukitasarinya dan Raden Sencaki sudah berdiri agak jauh dan sudah siaga untuk menangkap gada.
Gada yang sangat berat itu kemudian dilemparkan oleh Raden Harya Werkudara dan ditangkap oleh Raden Sencaki. Walaupun Raden Sencaki kelihatan sedikit susah menangkapnya, tetapi kuat dalam menangkap gada Lukitasari milik Raden Harya Werkudara. Kemudian Raden Sencaki mengeluarkan kekuatan untuk melemparkan gada tersebut kepada Raden Harya Werkudara, kemudian ditangkap oleh Raden Harya Werkudara dan dilemparkan lagi oleh Raden Harya Werkudara kepada Raden Sencaki kemudian ditangkap lagi oleh Raden Sencaki. Begitu seterusnya sampai diulang-ulang.
Melihat hal tersebut Raden Harya Werkudara merasa sudah lega, sehingga menyetujui Raden Sencaki menjadi tandingannya Raden Burisrawa. Kemudian Raden Sencaki mengucapkan terima kasih kepada Raden Harya Werkudara yang akhirnya merestui dirinya untuk menandingi Raden Burisrawa.
Kemudian Raden Sencaki minta pamit dan minta restu kepada Sang Prabu Matswapati dan juga kepada para pinisepuh Pandawa lainnya. Sri Batara Kresna memberikan pesan nasihat agar Raden Sencaki jangan sampai sombong. Kemudian Raden Sencaki manut dengan nasihat Sri Batara Kresna lalu pergi ke medan perang, saudara Pandawa juga pada ikut mengikutinya.
Dari kejauhan sudah terdengar teriakan para pasukan Ngastina. Raden Janaka yang kadang-kadang masih kelihatan kalau melamun “ngengleng” tetapi juga mendengar teriakan para pasukan Ngastina, lalu kemudian singkat cerita hilang lamunannya. Di situ sudah hadap-hadapan dengan Senopati Pendamping Ngastina, Raden Windandini. Raden Janaka langsung ditanyai oleh Raden Windandini, kemudian Raden Janaka ganti balik bertanya kepada Raden Windandini, hingga suasana menjadi ricuh terjadilah perang antara Raden Janaka melawan Raden Windandini. Kedua-duanya saling mengeluarkan kekuatan. Saling banting, saling sodok-menyodok. Raden Janaka dapat dipegang oleh Raden Windandini kemudian dilempar. Raden Janaka jatuh bangun, kemudian maju lagi melawan Raden Windandini. Raden Janaka balik membanting dan melempar Raden Windandini. Hingga lama peperangan antara Raden Janaka dengan Raden Windandini. Raden Windandini semakin lama semakin kerepotan melawan Raden Janaka. Niat disirnakan oleh Raden Janaka, kemudian melepaskan panah, Raden Windandini mati karena lemas.
Setelah lega dengan peperangan melawan Raden Windandini, Raden Janaka teringat dengan putra Raden Abimanyu, kemudian Raden Janaka melamun lagi.
Diceritakan Raden Harya Sencaki sudah berhadapan dengan Raden Burisrawa. Kedua satria pada lega dalam pikirannya karena terlaksananya nadar mereka, yaitu mengadu kekuatan dalam peran Baratayuda.
Lalu perang tanding antara Raden Harya Sencaki dengan Raden Burisrawa. Keduanya sama-sama berani dalam berperang. Keduanya niat untuk tidak meninggalkan medan perang. Apabila menang itu yang akan dicapai, tetapi apabila mati sudah rela dengan kematiannya.
Tetapi Raden Sencaki kalah gagah dengan Raden Burisrawa, juga kalah kukuh dan kuat, maka Raden Sencaki semakin lama semakin keseser dibontang-bantingkan oleh Raden Burisrawa, hingga terlempar. Raden Sencaki kemudian maju lagi, tetapi terlempar lagi, maju lagi walaupun hanya dengan merangkak Raden Sencaki tidak berniat untuk mundur.
Melihat itu Raden Burisrawa merasa gregetan, kemudian Raden Sencaki dipegang dan dibanting kemudian dilangkahi sampai tidak bisa bergeerak. Tetapi walaupun begitu Raden Sencaki tidak menyerah, niat Raden Sencaki, dalam peperangan melawan Raden Burisrawa harus ada salah satu yang mati.
Sri Batara Kresna yang selalu waspada dengan peperangan yang terjadi diantara kedua kesatria tersebut. Lalu melihat kalau yang muda Raden Sencaki kaya begitu keadaannya dalam melawan Raden Burisrawa. Hal itu membuat Sri Batara Kresna mempunyai niyat untuk menolong Raden Sencaki.
Dalam usaha untuk menolong Raden Sencaki, Sri Batara Kresna menggunakan Raden Janaka sebagai perantara untuk menolong Raden Sencaki. Usaha yang dilakukan adalah dengan menanyai Raden Janaka dalam hal kemampuannya berperang. Raden Janaka-pun menjawab masih bisa berperang, tetapi Sri Batara Kresna menginginkan bukti, yaitu memanah rambut yang dibawa dengan Kyai Pasopati, maksud Sri Batara Kresna agar nanti Kyai Pasopati mengenai leher Raden Burisrawa. Tetapi memang panah tersebut mengenai rambut tetapi tidak pas tengah karena Raden Janaka masih terpaku dengan lamunannya. Karena itu panahnya tidak pas mengenai leher Raden Burisrawa, melainkan mengenai lengannya, hingga pada waktu itu lengannya “timpal” (towel). Sehingga cerita Burisrawa Gugur juga disebut dengan cerita “Timpalan”.
Diceritakan Raden Harya Sencaki yang lepas dari tangan musuh, kemudian berdiri membawa panah. Raden Burisrawa yang sudah kehilangan lengan yang satu, lehernya terkena panah hingga putus, kepalanya terpisah dari badannya, terguling ditanah. Kemudian Raden Burisrawa mati karena lemas.
Diceritakan Raden Sencaki tidak bisa menahan rasa besar hatinya karena telah bisa mengalahkan Raden Burisrawa hingga mati. Raden Sencaki lupa dengan pesan nasihat yang disampaikan oleh Sri Batara Kresna jangan sampai nanti sombong “sesumbar” sewaktu perang. Tetapi karena merasa dirinya telah bisa mengalahkan Raden Burisrawa, maka Raden Sencaki sombong “sesumbar”.
Raden Sencaki sesumbar kepada Raden Burisrawa kalau Raden Burisrawa tidak akan menang menghadapi dirinya, Raden Burisrawa tidak akan lagi bisa hidup lagi karena lehernya sudah putus terkena panahnya Raden Sencaki.
Sri Batara Kresna mendengar Raden Sencaki sumbar-sumbar, kemudian Sri Batara Kresna mendekati Raden Sencaki dan bilang kalau ksatria kok sumbar-sumbar itu bagaimana. Raden Sencaki memberi alasan dirinya sumbar-sumbar karena merasa sudah bisa mengalahkan dan membunuh Raden Burisrawa.
Sri Batara Kresna seetelah mendengar perkataan Raden Sencaki, maka dia bilang kepada Raden Sencaki kalau dia bisa mengalahkan Raden Burisrawa itu karena lengan Raden Burisra towel (timpal) terkena Kyai Pasopati milik Raden Janaka. Kalau tadi Raden Sencaki tidak dibantu oleh Raden Janaka mungkin dirinya sudah kalah karena tadi Raden Sencaki sudah dipegang oleh Raden Burisrawa hingga tidak bisa bergerak. Tetapi karena lengan Raden Burisrawa sudah terkena Kyai Pasopati, maka dengan mudahnya Raden Sencaki bisa memanah leher Raden Burisrawa hingga putus dan mati.
Mendengar apa yang dikatakan oleh Sri Batara Kresna, Raden Sencaki kemudian diam tidak bicara. Di dalam pikiran Raden Sencaki mengakui kalau dirinya unggul dan bisa mengalahkan Raden Burisrawa itu bukan karena kekuatannya sendiri, melainkan karena mendapatkan bantuan dari Raden Janaka. Sehingga Raden Sencaki merasa sangat keliru kalau dirinya sumbar-sumbar, juga merasa salah karena sudah melanggar apa yang telah dinasihatkan sebelumnya oleh Sri Batara Kresna kalau jangan pernah sombong “sumbar” dalam peperangan. Raden Sencaki merasa sangat malu, kemudian pergi tanpa pamit.
Diceritakan para pasukan Ngastina tahu kalau sebenarnya Raden Burisrawa-lah yang unggul dalam peperangannya melawan Raden Sencaki karena aden Sencaki sudah dilangkahi sampai tidak bisa bergerak oleh Raden Burisrawa, tetapi kemudian lengan Raden Burisrawa towel (timpal) terkena panahnya Raden Janaka, maka dari itu para pasukan Ngastina pada berteriak dan menyatakan kalau Pandawa tidak adil dalam berperang.
Sri Batara Kresna mendengar apa yang dikatakan oleh para pasukan Ngastina, kemudian maju memberikan penjelasan kepada para pasukan Ngastina kalau terkenanya panah di lengan Raden Burisrawa sebenarnya bukan niat dari Raden Janaka untuk memanah lengan Raden Burisrawa. Tetapi karena Raden Janaka pengen diuji coba keahliannya dalam memanah oleh Sri Batara Kresna sendiri. Sebab Raden Janaka pengen diuji keahliannya dalam memanah karena sudah beberapa waktu Raden Janaka sering tidak ingat kalau masih berada di waktu peperangan. Ini dikarenakan Raden Janaka masih memikirkan kematian putra Abimanyu.
Para pasukan Ngastina diam setelah mendengar penjelasan dari Sri Batara Kresna, tetapi ada juga pasukan yang masih pada tidak terima dengan penjelasan Sri Batara Kresna.
Diceritakan Prabu Salya mendengar kalau putranya Raden Burisrawa telah kalah dan mati dalam laga peperangan melawan Raden Sencaki, kemudian timbul rasa duka dalam diri Prabu Salya. Prabu Salya berniat untuk menumpas semua keluarga dan kerabat Pandawa, tapi keinginan tersebut ditentang oleh Raden Harya Sengkuni. Raden Harya Sengkuni kemudian menenangkan Prabu Salya dan menyarankan agar Prabu Salya sekarang menghadap Prabu Duryudana untuk memberitahukan atas kematian Raden Burisrawa.
Mendengar apa yang disarankan oleh Raden Harya Sengkuni, maka pikiran Prabu Salya tenang kemudian berniat untuk menghadap kepada Prabu Duryudana untuk memberitahu hal kematian Raden Burisrawa.
G. Di Pesanggrahan Bulupitu
Prabu Salya, Adipati Karna, Raden Harya Sengkuni, Raden Harya Dursasana, Kurawa lainnya, dan para pasukan menghadap kepada Prabu Duryudana.
Disaat Prabu Duryudana mendengar apa yang dikatakan oleh Raden Harya Sengkuni kalau Raden Burisrawa dan Raden Windandini telah mati di dalam peperangan melawan Pandawa. Prabu Duryudana memberikan perintah kepada semua Kurawa untuk segera membasmi para pasukan Pandawa.
Para pasukan Ngstina segera pergi atas perintah Prabu Duryudana, lalu bertemulah dengan para pasukan Pandawa. Kemudian terjadi perang antara pasukan Ngastina dengan para pasukan Pandawa. Bala pasukan Ngastina kalah, kemudian pada mundur.
Baca Juga
Posting Komentar
Posting Komentar