
A. Pengertian Kain Lurik
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kain adalah
barang yg ditenun dr benang kapas. Kata lurik berasal dari bahasa Jawa, lorek
yang berarti garis-garis, yang merupakan lambang kesederhanaan. Sederhana dalam
penampilan maupun dalam pembuatan namun sarat dengan makna (Djoemena, Nian S.,
2000). Lurik menurut Ensiklopedi
Nasional Indonesia (1997) adalah suatu kain hasil tenunan benang yang berasal
dari daerah Jawa Tengah dengan motif dasar garis-garis atau kotak-kotak dengan
warna-warna suram yang pada umumnya diselingi aneka warna benang. Kata lurik
berasal dari akar kata rik yang artinya garis atau parit yang dimaknai sebagai
pagar atau pelindung bagi pemakainya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2005), lurik adalah kain tenun yang memiliki corak jalurjalur, sedangkan dalam
Kamus Lengkap Bahasa Jawa (Poerwadarminta:1939) pengertian lurik adalah corak
lirik-lirik atau lorek-lorek, yang berarti garis-garis dalam bahasa Indonesia .
Kain Lurik
Dan berbagai definisi yang telah disebutkan di atas,
dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lurik merupakan kain yang diperoleh
melalui proses penenunan dari seutas benang (lawe) yang diolah sedemikian rupa
menjadi selembar kain katun. Proses yang dimaksud yaitu diawali dari pembuatan
benang tukel, tahap pencelupan yaitu pencucian dan pewarnaan, pengelosan dan pemaletan,
penghanian, pencucukan, penyetelan, dan penenunan. Motif atau corak yang
dihasilkan berupa garis-garis vertikal maupun horisontal yang dijalin
sedemikian rupa sesuai warna yang dikehendaki dengan berbagai variasinya.
B. Sejarah Lurik
Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997) disebutkan
bahwa lurik diperkirakan berasal dari daerah pedesaan di Jawa, tetapi kemudian
berkembang, tidak hanya menjadi milik rakyat, tetapi juga dipakai di lingkungan
keraton. Pada mulanya, lurik dibuat dalam bentuk sehelai selendang yang
berfungsi sebagai kemben (penutup dada bagi wanita) dan sebagai alat untuk
menggendong sesuatu dengan cara mengikatkannya pada tubuh, sehingga kemudian
lahirlah sebutan lurik gendong. Dan beberapa situs peninggalan sejarah, dapat
diketahui bahwa pada masa Kerajaan Majapahit, lurik sudah dikenal sebagai karya
tenun waktu itu. Bahwa lurik sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat
lampau, dapat dilihat dari cerita Wayang Beber yang menggambarkan seorang
ksatria melamar seorang putri Raja dengan alat tenun gendong sebagai mas
kawinnya. Keberadaan tenun lurik ini tampak pula dalam salah satu relief Candi
Borobudur yang menggambarkan orang yang sedang menenun dengan alat tenun
gendong. Selain itu adanya temuan lain, yaitu prasasti Raja Erlangga dari Jawa
Timur pada tahun 1033 menyebut kain Tuluh Watu sebagai salah satu nama kain
lurik (Djoemena, Nian.S:2000).
Pada awalnya, motif lurik masih sangat sederhana,
dibuat dalam warna yang terbatas, yaitu hitam, putih atau kombinasi antar keduanya.
Pada jaman dahulu proses pembuatan tenun lurik ini dimulai dari menyiapkan
bahan yaitu benang (lawe). Benang ini berasal dari tumbuhan perdu dengan warna
dominan hitam dan putih. Selanjutnya, benang tadi diberi warna dengan
menggunakan pewarna tradisional, yaitu yang berasal dari pohon Tom dan dari
kulit batang mahoni. Hasil rendaman daun pohon Tom menghasilkan warna nila,
biru tua, dan hitam, sedangkan kulit batang mahoni menghasilkan warna coklat.
Sebelum ditenun, benang dicuci berkali-kali, kemudian
dipukul-pukul hingga lunak (dikemplong), setelah itu dijemur, lalu dibaluri
nasi dengan menggunakan kuas yang terbuat dari sabut kelapa. Setelah bahan atau
benang ini kaku, kemudian diberi warna. Setelah itu dijemur kembali dan benang
siap untuk ditenun. Dahulu, alat yang digunakan untuk menenun dikenal dua macam
alat, yaitu alat tenun bendho dan alat tenun gendong. Adapun alat tenun bendho
terbuat dari bambu atau batang kayu, biasanya digunakan untuk membuat stagen.
Stagen yaitu ikat pinggang dari tenunan benang yang sangat panjang dan
digunakan untuk pengikat kain (jarik) oleh para wanita Jawa. Alat tenun ini
digunakan dengan posisi berdiri. Disebut sebagai alat tenun bendho karena alat
yang digunakan untuk merapatkan benang pakan berbentuk bendho (golok), sedangkan
alat tenun gendong digunakan untuk membuat bahan pakaian, selendang lebar,
maupun jarik (kain panjang). Disebut demikian karena salah satu bagiannya
diletakkan di belakang pinggang, sehingga tampak seperti digendong. Dalam
proses pembuatan kainnya, penenun dalam posisi duduk memangku alat tenun
tersebut.
Dahulu, kain lurik dipakai hampir oleh semua orang,
sebagai busana sehari-hari. Untuk wanita dibuat kebaya, atau
tapih/nyamping/jarik (kain untuk bawahan). Untuk pria, sebagai bahan baju pria,
di Solo disebut dengan beskap, sedangkan di Yogyakarta
dinamakan dengan surjan. Selain itu, lurik juga dibuat selendang (jarik
gendong) yang biasanya dipakai oleh bakul (pedagang) di pasar untuk menggendong
tenggok (wadah yang terbuat dari anyaman bambu), terutama di daerah Solo dan
Klaten Jawa Tengah. Selain dibuat untuk bahan pakaian ataupun selendang, yang
lebih penting lagi bahwa kain lurik ini dahulu digunakan dalam upacara yang
berkaitan dengan kepercayaan, misalnya labuhan ataupun upacara adat lain
seperti ruwatan, siraman, mitoni, dan sebagainya.
PENGERTIAN DAN SEJARAH KAIN LURIK
Reviewed by Hendi Widyatmoko
on
2/10/2012 05:08:00 AM
Rating:

Tidak ada komentar: